MK Akan Menghukum Perampok atau Korban Perampokan?
*Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)
Ujian independensi Mahkamah Konstitusi (MK) akan terlihat besok. Mereka akan memutuskan siapa pemenang sengketa hasil pilpres 2019. Mari kita saksikan apakah MK akan menghukum perampok atau menghukum korban perampokan.
Tidak perlu dibawa berbelit-belit apalagi berkelit-kelit. Konstelasi pilpres ini sudah sangat terang-benderang. Yaitu, ada gerombolan pemilik berbagai macam kekuasaan yang merampok kemenangan rakyat; dan ada korban yang dirampok (Prabowo-Sandi). Semuanya hitam-putih. Tidak ada yang abu-abu.
Rekonstruksi kejahatan pilpres ini dapat dilakukan persis seperti konstruksinya. Situasi yang ada saat ini sama sekali tidak ruwet. Yang satu melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam proses panjang pilpres 2019, sedangkan yang satu lagi mengikuti kontestasi demokrasi dengan jujur dan terhormat.
MK tidak perlu menulis naskah putusan panjang-lebar. Tidak perlu berhalaman-halaman. Cukup satu halaman saja. Bahkan, mungkin cukup beberapa paragraf saja.
MK sudah mendengarkan dan menyaksikan bukti-bukti kecurangan pilpres itu. Bukti yang solid dan telak. Ada banyak bukti keras yang terungkap di persidangan, dan berjubel pula bukti di luar persidangan. Bukti-bukti itu tak terbantahkan oleh siapa pun juga. Kesaksian ilmiah dari Prof Jazwar Koto, PhD, tentang penggelembungan 22 juta suara pilpres, tidak bisa dipatahkan oleh KPU dan Termohon/Paslonpres 01. Prof Jazwar menguraikan temuannya berdasarkan metode ‘digital forensic’. Beliau dikenal di dunia karena dia adalah penemu dan pemberi sertifikat ‘finger print’ dan ‘eye-print’.
Seorang lagi saksi ahli yang memiliki reputasi adalah Idham Amiruddin. Dia adalah ahli IT. Idham ‘mengacak-acak’ DPT pilpres dengan bantuan piranti lunak (software) FoxPro. Sebagai contoh, dia bisa memergoki 1,354 orang yang memiliki KTP tetapi tidak punya KK. Terus, ada contoh 290 orang yang memiliki NIK (nomor induk kependdukan) yang sama. Kemudian, dengan mudah ditemukan pula conoth 137 orang dengan NIK yang lain lagi. Juga sama persis.
Padahal, NIK itu dibuat unik. Artinya, tidak ada satu orang pun yang ber-NIK sama dengan orang lain. Inilah antara lain contoh-contoh temuan Idham di DPT pemilu 2019. Idham menyebutnya NIK siluman atau NIK rekayasa.
Beranjak ke kesaksian lain. Fakta yang sangat menyeramkan. Desain pencurangan yang sangat kotor. TKN Jokowi-Ma’ruf membuat pelatihan yang salah satu materinya bertajuk “Kecurangan adalah Bagian dari Demokrasi”. Apa pun dalih yang dikatakan oleh saksi dari pihak Terkait (01), Anas Nashikin, tentang judul yang berbau premanisme itu, kita pantas menilai bahwa thema ini secara psikologis adalah inti dari pemikiran kubu 01. Inti dari keinginan mereka tentang pilpres 2019. Itulah target mereka. Itulah mentalitas mereka. Yaitu, mencurangi demokrasi. Mencurangi pilpres.
Tanpa mereka sadari, atau dalam bahasan lain “begitulah cara Yang Kuasa menunjukkan kejorokan akal kubu 01, tajuk materi ‘training for trainers’ TKN itu adalah ‘headline’ pikiran mereka tentang pilpres. Muslihat-muslihat kecuranganlah yang menjadi fokus pikiran mereka.
Inilah kecurangan kualitatif yang dibeberkan oleh caleg PBB, Hairul Anas, sebagai saksi dari tim Prabowo.
Tidak salah untuk disimpulkan bahwa bagi TKN, kecurangan wajar saja dilakukan dalam proses demokrasi. Tak heran kalau kecuranganlah yang mereka jabarkan di pilpres 2019 ini, yakni kecurangan yang rapi dan meluas. Mereka berhasil melakukan itu.
Tetapi, sebaliknya, pihak yang dicurangi, yang dirampok kemenangannya, juga sukses membongkar perbuatan bejat KPU dan Termohon. Anas Nashikin adalah saksi yang ‘jujur’ di depan MK.
Berbagai bukti yang dihadirkan di sidang-sidang MK hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak bukti kecurangan itu. Yang lebih banyak lagi adalah bukti-bukti yang tak terekam tapi semua orang tahu. Bukti yang tak memiliki saksi, tapi disaksikan oleh banyak orang
Para hakim MK, para Termohon, pihak-pihak terkait serta khalayak umum dapat disebut tahu persis tentang kecurangan yang TSM itu. Semua kita menyaksikan ‘abuse of power’ oleh petahana. Inilah salah satu bentuk kecurangan masif pilpres.
Siapa yang tidak melihat keberpihakan institusi Kepolisian RI (Polri) kepada petahana? Siapa yang tidak tahu aparat kepolisian ikut menggalang dukungan untuk petahana? Siapa yang tidak tahu macam-macam ‘pendektan’ kepolisian ke masyarakat untuk memenangkan petahana?
Tanpa rekaman audi atau video pun, Anda semua bisa lihat betapa transparannya aparat kepolisian melakukan keberpihakan itu.
Itu baru kepolisian. Banyak lagi institusi negara yang disalahgunakan oleh petahana. Termasuklah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian BUMN, dll. Dan BUMN-BUMN itu sendiri pun juga disalahgunakan. Mana bukti tertulisnya? Memang tidak ada kalau itu yang Anda minta. Tapi, kalau Anda menggunakan mata-kepala dan mata-hati, tak perlulah Anda menanyakan buktinya.
Saya sudahi saja tuisan ini dengan menyebutkan kewajaran bagi MK untuk menghukum kecurangan cawapres 01, Ma’ruf Amin. Dia terbukti melanggar aturan pemilu yang mengharuskan Pak Kiyai melepaskan semua jabatannya di berbagai lembaga milik negara, dalam hal ini BUMN. Ma’ruf menduduki posisi komisaris di sejumlah anak perubahaan MUMN yang berkedudukan sama dengan BUMN itu sendiri.
Jadi, dalam sidang putusan MK besok, kita wajar menantikan keputusan MK yang mendiskualifikasikan Ma’ruf Amin dari posisi cawapres. MK punya bukti dan alasan yang sangat kuat untuk itu.
Diskualifikasi juga seharusnya mengancam Jokowi. MK telah mendengarkan pembeberan bukti-bukti keras tentang pelanggaran yang diyakini telah dilakukan oleh petahana. Tidak hanya itu, MK juga wajar membatalkan pilpres sesuai permintaan tim hukum 02. (*)