Quick Bali with Kids

Senja yang mendung di Kuta

Kami sudah sering selalu transit di Bali setiap kali melakukan perjalanan dari Indonesia – Australia atau sebaliknya, tapi rasanya belum pernah mengunjungi Bali dengan ‘baik dan benar’. Trip kali ini pun sekedar kabur sebentar, menginap dua malam di Bali.

Sebenarnya ini liburan spontan, tanpa rencana. Tahun lalu, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat daripada di sini, saya berhasil mendapatkan tiket ‘gratis’ Air Asia untuk Surabaya – Bali seharga Rp 5000 per orang. Saya beli saja waktu itu tanpa berpikir, kalau pun nanti tidak jadi kami pakai juga tidak rugi-rugi amat, total tiket berempat pp cuma 40 ribu πŸ˜€

Jadwal penerbangan kami: berangkat Minggu siang dan pulang Selasa pagi. Jadi kami cuma punya waktu satu setengah hari efektif untuk main-main di Bali. Karena tidak punya waktu banyak, saya putuskan untuk tinggal dekat dengan bandara dan rencananya memang cuma pengen leyeh-leyeh di hotel saja. Tak disangka, salah satu teman menawarkan untuk menginap di Vila barunya di daerah Canggu. Wah, rezeki nggak boleh ditolak kan? Lumayan, sponsor liburan kami bertambah: Air Asia dan teman pemilik Vila. #okesip

Saatnya #pengakuan: kami belum pernah naik Air Asia! Untuk pesawat murah domestik Australia kami mengandalkan Jetstar. Dilihat dari interiornya, kursi Air Asia ini mirip dengan Jetstar. Hampir tidak ada bedanya. Empat hari sebelum berangkat, saya sudah melakukan web check in dan mencetak sendiri boarding pass, jadi cepat banget waktu cek in di counter. Kami juga tidak membawa checked baggage, tas untuk dimasukkan bagasi. Cuma bawa ransel masing-masing udah cukup kok. (Alasan utama adalah malas beli biaya tambahan untuk bagasi :p) Ternyata memang lebih asyik traveling tanpa bawa bagasi πŸ™‚

Karena skip ketika ada tawaran memilih kursi, saya sedikit khawatir tidak mendapatkan kursi berdampingan, kan repot kalau saya dan anak-anak duduknya terpencar. Tapi ternyata bisa diakali. Kalau tidak ingin membeli kursi, usahakan web check in awal. Komputer akan memberikan nomor kursi secara otomatis. Biasanya sih kalau beli tiketnya bareng bisa dapat kursi bersebelahan. Kalau kursinya terpencar, baru ‘terpaksa’ menggunakan pilihan untuk ganti kursi. Berangkatnya saya duduk bertiga dengan Little A dan Big A, sementara Si Ayah duduk sendiri di depan kami. Pulangnya kami duduk terpencar dua-dua, selisih dua baris. Saya dengan Little A dan Si Ayah dengan Big A. Penerbangan dengan Air Asia kali ini lumayan mulus, pilotnya jago kok. Dari SUB – DPS tidak ada penjualan makanan di pesawat, mungkin tidak ada yang pesan? Sementara di penerbangan sebaliknya jual makanan. Big A tampak senang dan motret-motret dengan kamera sakunya. Saya senang karena ini salah satu tanda kalau dia tidak bosan. Penerbangan cuma berlangsung 50 menit. Belum sempat ‘mabuk’, kami sudah disuruh siap-siap mendarat lagi :))

Kami tiba di bandara Ngurah Rai jam dua siang. Teman kami dan sopirnya sudah siap menjemput. Perjalanan dari bandara ke Canggu penuh horor, melewati jalan-jalan kecil yang kalau untuk berpapasan mobil, bisa cuma selisih satu senti. Untung sopir kami jago banget, meliuk-liuk dengan luwes di antara pengemudi Bali yang… tidak pakai aturan. Saya yang baru bulan Juni tahun lalu ke Bali tidak begitu kaget. Si Ayah yang terkaget-kaget melihat perkembangan Bali sejak dia tinggalkan empat tahun yang lalu. Memasuki daerah Petitenget menuju Canggu, sawah-sawah sudah berubah menjadi Vila. Kata teman saya, vila-vila ini ‘dimiliki’ warga negara asing, meskipun mereka sebenarnya dilarang punya properti di Indonesia, tapi ada aja caranya. Saya bertanya-tanya, kalau sawahnya habis, terus pemandangannya apa ya?

Mendekati Canggu, semakin banyak terlihat penjor yang daunnya mulai layu, terpasang di depan rumah-rumah penduduk, dihiasi sajen-sajen cantik. Payung dengan ‘ekor’ warna-warni melambai di tepi pematang. Masih terasa aroma hari raya Galungan dan Kuningan. Di satu ruas jalan kami harus memutar melalui gang kecil karena jalan ditutup untuk upacara. Teman kami bilang: “Yang pengen cepat-cepat ke bandara pasti nangis kalau ketemu upacara di sini.” ^_^

Canggu adalah daerah di antara Kuta dan Tanah Lot. Pantai-pantai yang ada di sini antara lain: Berawa dan Echo beach yang ombaknya terkenal bagus untuk berselancar. Kami sempat melipir ke pantai Berawa di depan hotel Legong Keraton, tapi the precils tidak mau turun. Ya sudah, kami langsung ke vila yang kira-kira dua kilometer dari pantai.

Little A dan The Emak di kabin Air Asia
Foto oleh Big A. Canon Powershot S 95

Vila teman kami ada di tengah sawah yang hijau. Begitu masuk, kami langsung kesengsem sama kolam renangnya. Meskipun kecil, kolam ini cukup asyik untuk berenang. Karena tidak perlu berbagi dengan orang lain, serasa punya kolam renang pribadi. Lucu juga berenang sambil melihat hamparan sawah menghijau, ayam dan bebek yang mencari makan dan petani yang sibuk bekerja. Kalau untuk bule yang jarang-jarang lihat tanaman padi pasti eksotis sekali πŸ™‚

Villa compound ini punya 3 vila: 1 vila dengan dua kamar tidur dan 2 vila masing-masing satu kamar tidur. Satu vila dihuni sendiri oleh teman kami dan istrinya yang sangat ramah menyambut kedatangan kami. Teman kami yang baik ini menyilakan kami menggunakan vila dengan dua kamar tidur. Wah, pengalaman menginap di vila ini asyik sekali. Nanti saya tulis tersendiri ya… Kami menutup hari dengan makan malam ikan bakar yang dibeli dari pasar ikan Jimbaran.

Budget Hari Pertama
Taksi ke bandara Rp 45.000
Tiket pesawat AA SUB-DPS, 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40.000 = Rp 160.000
Roti Boy Rp 51.000
Total Hari Pertama = 276.000

Kolam renang di Vila Adem Ayem, Canggu
Big A ngelamun di bale bengong

Vila kami letaknya lumayan tersembunyi dari jalan besar, jadi suasananya tenang sekali, cocok untuk yang pengen menyepi. Paginya kami sarapan masakan rumahan yang dimasak sendiri oleh istri teman. Ngopi, sarapan sambil ngobrol di bale bengong pinggir kolam, rasanya tidak pengen pulang! Big A juga asyik ngelamun sambil kakinya kecipak-kecipuk di air kolam. Tenang dan damai. Saya ngobrol ngalor ngidul dengan istri teman yang sudah lama tinggal di Bali. Obrolannya mulai dari pergeseran gaya hidup anak-anak muda di sini yang menurutnya sudah seperti orang bule, sampai pemberantasan anjing-anjing liar di Bali dengan ditembak karena rabies. Jam 11.30 siang kami baru siap menuju Kuta. Hitungannya late check out ya kalau di hotel.

Perjalanan dari Canggu ke Kuta lebih horor lagi daripada kedatangan kami dari bandara. Di tengah jalan kami berpapasan dengan macam-macam tingkah manusia. Ada yang menaruh pasir bangunan sampai menutup setengah jalan, ada yang memarkir mobil besarnya sampai mengambil satu lajur, dan tentu saja banyak sepeda motor di kiri kanan yang melesat cepat, seolah pengemudinya punya nyawa dobel. Di Canggu, beberapa perempatan penting dan ramai tidak ada lampu lalu lintasnya. Kata sopir kami percuma saja, banyak yang tidak menaati. Jadi masyarakat sini mengatur dirinya sendiri. Ya sudah, kami menikmati saja sirkus jalan raya ini. Tipsnya: jangan nyetir sendiri di Bali, serahkan pada ahlinya.

Selanjutnya kami melewati jalan yang lebih lebar di Seminyak. Di kanan-kiri jalan banyak berdiri butik-butik kecil dan kafe-kafe lucu. Saya jadi teringat suburb-suburb di Australia yang suasananya seperti ini. Terutama di Byron Bay. Bule-bule yang berseliweran menambah suasana mirip kampung di Australia. Sepertinya Bali ini sudah diangkat menjadi kampung halaman kedua mereka. Sama mengamati beberapa bule sudah mahir mengendarai sepeda motor seperti orang lokal. Yang saya lihat, banyak yang memodifikasi sepeda motor mereka dengan besi pengait di samping. Tadinya Si Ayah mengira untuk membawa galon air mineral, hehe. Ternyata untuk membawa surf board. Saya cuma bisa tersenyum melihat seorang Ayah Bule yang melesat kencang dengan sepeda motor tanpa helm, membawa anak balitanya yang berdiri di depan. Indonesia banget! Kalau di negaranya sana, mana berani melakukan seperti itu. Membawa anak-anak di dalam mobil yang ‘aman’ saja harus ‘diikat’ di car seat. Mana istilah yang tepat: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya atau Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung? Tanda bahwa akulturasi budaya sudah berhasil? πŸ™‚

Ruas jalan yang paling ramah pejalan kaki menurut saya adalah Jalan Legian. Jalan sempit satu arah ini ditutup dengan paving, bukan aspal, sehingga kendaraan bermotor lebih pelan ketika lewat. Di sepanjang jalan ada toko-toko kecil, semua ada di sini: fashion, art, cafe. Saya juga mengeja deretan hotel-hotel yang kami lalui, yang namanya sudah saya hafal luar kepala saking seringnya mengintip Hotels Combined πŸ˜€ Sopir kami melambat ketika kami melewati Ground Zero, Monumen Bom Bali. Sopir bertanya apa kami mau berhenti dan singgah sejenak? Saya menggeleng, terlalu sedih bahkan untuk mengingatnya. Di pantai-pantai Sydney (Coogee, Bronte, Malabar, Maroubra dll) didirikan monumen kecil untuk mengenang warga lokal korban bom Bali. Biasanya setelah bermain di pantai, kami menghampiri monumen-monumen kecil ini sejenak, menatap bunga yang kadang diletakkan di sana, sambil mengeja nama-nama orang yang nyawanya diambil oleh pembunuh dari negeri kami.

Kami mampir sebentar untuk menitipkan tas di Hotel Hard Rock, dan diturunkan sopir di Mal yang terhitung baru: Beachwalk. Mal ini cukup asyik, konsepnya terbuka dan enak dibuat jalan-jalan. Karena kami ke sana hari Senin, Mal tidak ramai. Kami cuma belanja sebentar di Roxy dan langsung keluar lagi. Tadinya mau makan siang di sini. Tapi harga makanannya bikin niat kami menciut. Resto-resto yang buka di sini kelas menengah ke atas, dengan paket makan siang sekitar 125K – 150K per orang. Benar-benar harga Aussie, sayangnya dolar kami sudah habis.

Vending Machine sandal Havaianas
Mal baru, BeachWalk
Hore, ada trotoar!

Si busur kuning menyelamatkan kami dari kelaparan. Kenyang, kami jalan kaki ke hotel, sekitar 300 m dari Mal. Saya senang karena ada trotoar yang berfungsi sepanjang jalan. Trotoar ini mulus, nggak bolong, nyambung dan tidak dikuasai pedagang kaki lima (penting!). Kalau di sepanjang jalan dibuat trotoar seperti ini, kami tidak akan keberatan jalan kaki. 

Cek in di Hotel Hard Rock, kami disambut dengan kejutan yang menyenangkan: kamar kami di-upgrade jadi Kids Suite! Yay! Rupanya Hard Rock juga pengen menjadi co sponsor liburan kami, hehe. Big A tak bisa berhenti tersenyum, karena menginap di kamar Kids Suite ini sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Hanya saja Emaknya baru sanggup untuk booking kamar biasa.

Kami sangat terkesan menginap di Hard Rock. Tadinya saya pilih hotel ini karena review yang bagus di Trip Advisor. Juga karena sesuai kriteria saya: dekat dengan bandara, pantai, dan ada kolam renang untuk anak-anak. Harganya pun masuk akal, satu kamar bisa untuk dua dewasa dan dua anak tanpa perlu extra bed. Review hotel selengkapnya akan saya tulis di postingan tersendiri ya.

Little A loooove her special room
Kids pool at Hard Rock hotel
Mengintip upacara

Selesai main-main air di kolam renang, kami melihat sunset di Pantai Kuta, yang tinggal menyeberang jalan dari hotel. Big A tidak ikut karena ingin mencoba PS3 yang disediakan di Kids Suite. Pantai Kuta sekarang lumayan rapi, lebih sedikit sampah, dan tidak terlalu ramai (mungkin karena hari Senin?). Pedagang yang berjualan di sana pun tidak terlalu mengganggu. Mereka punya kartu identitas dan mestinya sudah di-training cara berdagang yang tidak mengganggu. Little A gembira banget ketika Si Ayah setuju membelikannya kalung dan gelang dari pedangan asongan.

Sayangnya cuaca mendung, jadi kami gagal menikmati sunset yang berwarna di pantai Kuta. Saya dan Little A asyik bermain pasir, membuat sumur dan benteng untuk menghindari ombak. Sementara Si Ayah sibuk memotret orang-orang yang sibuk memotret πŸ˜€ Di sebelah-sebelah kami menggelar sarung Bali, banyak turis mancanegara. Dari obrolan mereka, saya tahu mereka dari Malaysia, Cina, Jepang, Amerika Latin dan tentu saja Australia.

penjaja di Kuta, pakai ID card
Little A pamer gelang dan kalung barunya πŸ™‚

Little A cukup puas bermain di pantai. Sayangnya saya tidak menemukan tempat bilas di dekat pantai, seperti fasilitas standar di pantai-pantai di Australia. Mungkin disediakan, tapi saya tidak bisa menemukan karena hari sudah gelap. Kami kembali ke hotel dengan pasir yang menempel di kaki.  

Budget Hari Kedua
Tips Sopir Rp 100.000
Roxy rash vest Rp 345.000
Mc Donald  Rp 123.000
KFC Rp 117.000
Hotel Hard Rock Rp 1.204.764
Sandal 2x Rp 145.200
Gelang Kalung Rp 15.000
Total hari kedua Rp 2.049.964

Little A was trying to stop the wave
Can’t catch meeee…. :p

Liburan yang benar-benar singkat. Pagi harinya kami harus early check out tanpa sarapan di hotel karena mengejar flight jam 7.35. Pihak hotel sudah mengantar empat box sarapan ke kamar kami jam 5 pagi. Concierge membantu kami mencari taksi (Blue Bird) di depan hotel. Perjalanan ke bandara cukup lancar karena masih pagi sekali, cukup 15 menit. Hanya saja kami perlu berjalan kaki cukup jauh sampai ke area boarding di bandara Bali yang baru ini. Benar-benar olahraga pagi.

The Precils sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Rencananya, dari bandara Juanda, kami akan langsung naik taksi ke sekolah. Big A menyeletuk gembira, “Ma, kita berangkat sekolah naik pesawat, haha.” Little A yang masih mengantuk, menyambut dengan sedikit merengut, “This is too short, Mommy. I want TEN DAYS holiday.” Hehehe, “Me too, Darling.”

Budget Hari Ketiga
Taksi ke bandara Rp 48.000
Tiket pesawat AA DPS – SUB 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40 = Rp 160.000
Taksi dari Juanda Rp 101.000
Total hari ketiga Rp 329.000

Grand Total = Rp 2.654.964

~ The Emak

Baca Juga:
Review Hard Rock Hotel Bali

__Terbit pada
April 13, 2013
__Kategori
Air Asia, Bali, Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *