Road Trip Adelaide – Melbourne
Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan |
Seribu lima ratus kilometer, sepuluh hari, dua negara bagian, dua pulau, dua belas kota, dua dewasa plus dua precils, satu campervan!
Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.
Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.
Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi ‘tujuan wisata’ atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya 🙂
Rute Road Trip Adelaide – Melbourne |
Hari 1
(A) Adelaide – (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis – Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit
Hari 2
Penneshaw – Seal Bay – Vivonne Bay – Western KI
Hari 3
Western KI – Parndana – Kingscote
Hari 4
Kingscote – Penneshaw – Cape Jervis
(B) Cape Jervis – (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor – (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit
Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang ‘sedap’ menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan ‘cuci mobil sendiri’ di pom bensin.
Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia 🙂 Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.
Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.
Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.
Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.
Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly 🙂
Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.
Trem yang ditarik kuda |
Melintasi jembatan |
Feri penyeberangan |
senja di Meningie |
Hari 5
(D) Meningie – (E) Robe: 188km, 2 jam
Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.
Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.
Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia’s Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan.
Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.
Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.
Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.
Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup 🙂
Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.
Robe Obelisk |
Senja di ‘pantai pribadi’ |
Badai di Robe |
Hari 6
(E) Robe – (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier – (G) Portland 116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland – (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam
Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.
Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran 😀
Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa… Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu 🙂
Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.
Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang 🙂
Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di… Mc Donald.
Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.
Pohon fotogenik |
Pembangkit listrik tenaga angin |
Blue Lake, Mount Gambier |
Hari 7
(H) Port Fairy – (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol – (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell – (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit
Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.
Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.
Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.
Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.
Mendung yang bikin deg-deg-an |
Hari 8
(K) Apollo Bay – (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne – (M) Torquay 46,9km, 46 menit
Hari 9
(M) Torquay – (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne – (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit
Hari 10
Melbourne Airport (O) – INDONESIA
Lorne |
Pelangi |
~ The Emak