Teroris Dan Moeldoko

LAGI-LAGI Moeldoko bernyanyi dengan suara sumbang “30 teroris sudah masuk Jakarta.” Tapi tak usah khawatir, katanya “sudah dikenal” dan “diikutin”.
Nah justru ini yang aneh “30 teroris” yang diikutin dan sudah dikenal. Sepanjang dia adalah “teroris” ya tak boleh dibiarkan. Masa dibiarkan kejadian dahulu baru ditindak. Ini namanya “crime by omission” pembiaran terjadinya kejahatan. Itu adalah perbuatan kriminal. 
Moeldoko spesialis buat kejutan. Dulu ia menyebut TKN Jokowi melakukan “perang total” kemudian terungkap doktrin “curang bagian dari demokrasi” dan kini soal “teroris masuk Jakarta”. Ada-ada saja.
Ungkapan yang dikemukakan Moeldoko terakhir soal teroris bisa jadi hoax dan bagian dari teror. Harus dibuktikan keberadaan “teroris” itu lewat proses hukum. Jika tidak, maka “teroris” ini hanya merupakan bagian dari sebuah permainian politik.
Sebelum peristiwa 21-22 Mei yang lalu isu “teroris” juga diumumkan oleh pihak kepolisian. Yang terjadi justru “kerusuhan” yang tak jelas juntrungannya. Siapa yang buat, siapa yang nembak, siapa pula yang ditargetkan. Hubungan gelap. 
Jika nyatanya teroris itu tidak ada, maka Moeldoko telah berperan sebagai penyebar hoax yang patut dipidana. Atau jika ternyata si teroris itu di lapangan hanya ada 25, maka 5 teroris kemana lagi? Aparat keamanan bertanggung jawab atas kaburnya 5 orang teroris karena 30 teroris tersebut “sudah kenal” dan “diikutin”.
Moeldoko sebenarnya tidak memiliki kompetensi melansir keberadaan “30 teroris”. Moeldoko “hanya” sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye dan Kepala Staf Kepresidenan. Bukan pejabat kepolisian atau aparat keamanan lain. Ungkapan yang disampaikan pejabat inkompeten belum boleh dipercaya. Bisa hanya hoax dan teror bagi publik. Bahkan Moeldoko nantinya dapat saja disebut teroris. Terorisme negara. 
Jika memang telah diketahui “30 teroris masuk Jakarta”, aparat kepolisian mesti segera menangkap, menginterogasi, memproses secara hukum, membuka kepada publik proses hukum peradilannya, lalu pengadilan menghukumnya. Besaran  hukuman harus diketahui sebagai efek jera dan pencegahan perbuatan serupa.
UU No 5 tahun 2018 yang merevisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan mereka yang terlibat dalam jaringan terorisme dapat dihukum tanpa harus adanya aksi. Nah oleh karena itu “30 teroris” yang disebutkan Moeldoko sudah bisa ditindak. Jika memang mereka itu benar-benar ada. 
Aksi di MK bukan semata damai, tapi harapan agar Hakim MK berlaku adil dan jujur serta independen. Tuntutan yang benar dan aksi yang legal. Justru adanya info telah datang ber bus-bus lokal “kelompok berprofil preman” itu yang semestinya dicurigai. Keberadaannya telah terbuka di medsos. Tentu ini bukan teroris (teroris sebodoh ini). Aparat mestinya sangat tahu berkaca pada peristiwa 21-22 Mei yang lalu model kelompok seperti inilah yang potensial menjadi “perusuh”.
Atau inikah yang dimaksud dengan “30 teroris telah masuk Jakarta oleh Moeldoko yang dikenal dan diikuti itu? Baiknya Pak Moeldoko klarifikasi agar tidak diduga oleh masyarakat bahwa “diikutin” itu maksudnya “dipandu”. Karena jika begitu sang dalang adalah pemandu. Karena yang “kenal” dan “ikutin” itu Pak Moeldoko, maka teroris atau dalangnya tentu yang “kenal” dengan Pak Moeldoko.
Ia atau mereka adalah bisa saja “penyusup” ke lingkupan TKN atau Staf Kepresidenan. Ayo selidiki bersama sejak dini agar politik tidak diisi dengan fitnah-fitnah. Atau mau membenarkan bahwa tipu-tipu dan curang adalah bagian dari demokrasi. Negara diabolis kah kita?
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik
__Terbit pada
Juni 27, 2019
__Kategori
KOLOM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *